Cerpen 1 :
Kopi di Pagi Hari
Created by : Steven Stevanu
Pagi itu aku terbangun, melihat sebelah jendela yang sudah dihiasi mentari pagi yang bersinar, entah ini pukul berapa karena alarm weker ku pun sudah kupukul jauh-jauh sebelumnya. Kebiasaan ini sudah terbiasa aku jalani, selama hampir berbulan-bulan sampai aku lupa kapan aku memulai semua kebiasaan rutin ini.
Terkadang aku memulai untuk melihat handphone ku yang sudah kutaroh bantal sebelumnya, seperti biasa hanya beberapa orang yang mengirimkan pesan singkat. Ibu, yang hanya tinggal sendiri dan sedang menjalani masa tuanya tanpa sosok seorang suami yaitu Bapakku yang sudah meninggalkan ku sangat lama karena penyakit yang ia derita. Aku hanya bisa berusaha untuk membahagiakan ibuku, selalu.
Aku mulai beranjak dari tempat tidurku yang nyaman, lalu segera menggapai handuk yang sudah disiapkan pembantuku sebelum aku bangun dan segera menuju ke kamar mandi. Dalam kamar mandi aku selalu duduk terlebih dahulu dan merenung semua kejadian yang sudah terlewatkan dan menerka apa yang akan terjadi selanjutnya dalam hidupku ini. Beberapa kali aku memegang kepalaku dan selalu merasa bersalah atas beberapa hal yang telah aku perbuat, yang telah aku lupakan dan tinggalkan, dan tak tau apa dampak itu ke orang yang sudah terkena masalah ini. Aku hanya bisa berdoa semua yang Diatas selalu memaafkan atas semua kesalahan ku dimasa lalu, entah itu berat atau ringan aku tidak peduli, sekali salah tetap salah.
Air pagi hari ini sangat dingin, menusuk kedalam iga dan fikiranku dalam yang membuat aku terus berfikir akan apa yang terjadi. Kesepian yang hanya ditemani oleh sosok seorang ibu yang selalu menyemangati dari jauh dan terpisah oleh pekerjaan, aku hanya bisa berdoa semoga dia baik baik saja disana. Sakit rasanya meninggalkan sosok seorang pahlawan yang sudah membimbingku sejauh ini dan selalu mendorongku dari belakang, tak mungkin aku melupakannya.
Sehabis mandi aku langsung menggapai semua pakaian kerjaku lengkap, dasi yang menemani ku, setelan jas yang hampir sama, kemeja yang selalu memperlihatkan karisma seseorang, dan celana bahan yang menambahkan kesan karismatik dalam bekerja. Aku mungkin seorang pengusaha besar, tapi kehidupan yang hampa ini membuat semua kekayaan ini fana, bahkan tanpa seorang ibu yang jauh disana karena terpisah jarak dan pekerjaan.
Setelah aku memakai semua pakaianku, akupun mulai beranjak turun tangga, terlihat diatas meja makan selalu ada potongan roti isi coklat dan gula yang aku suka dan kopi hitam yang selalu menemani pagi ku, sangat nikmat. Sepotong roti kumakan dengan lahap karena aku ingat semalam aku tidak makan apa apa karena meeting mendadak di kantor. Dan bagian kesukaan ku saat menyeruput kopi, semua kenangan yang pahit atas rasa bersalah seketika hilang, entah karena sensasi kopi yang selalu menyegarkan otak ini semua hilang seketika, aku hanya berfikir bagaimana cara membahagiakan ibuku selalu dan selalu melakukan hal hal baik dimasa yang akan datang, aku tak boleh tersangkut dengan masa laluku yang pahit, aku harus maju entah bagimana caranya.
Semua rutinitas ini aku lakukan hanya untuk satu tujuan, membahagiakan ibuku selalu bagaimanapun resikonya dan pasti dengan cara yang positif aku akan membahagiakan ibuku. Aku sayang ibu, walau bagaimana engkau.
CERPEN 2:
Perjuanganku Untuk Menggapai Mimpiku
by : Oky Anggara
Perjuanganku dimulai sejak masuknya XII. Kenapa?
Semenjak masuk SMA, tidak mempunyai pikiran sama sekali untuk kuliah. Sangat buta akan dunia perkuliahan. Bahkan, jurusan-jurusan yang ada di Universitas pun aku tak tahu. Tadinya aku ingin melanjutkan pendidikan ke SMK, tapi karena orangtuaku masih belum mengizinkan ku bersekolah jauh-jauh, akhirnya orangtuaku memilihkan untuk melanjutkan ke SMA.
Semenjak masuk SMA, tidak mempunyai pikiran sama sekali untuk kuliah. Sangat buta akan dunia perkuliahan. Bahkan, jurusan-jurusan yang ada di Universitas pun aku tak tahu. Tadinya aku ingin melanjutkan pendidikan ke SMK, tapi karena orangtuaku masih belum mengizinkan ku bersekolah jauh-jauh, akhirnya orangtuaku memilihkan untuk melanjutkan ke SMA.
Aku ini anak semata wayang. Dari SD, SMP, hingga SMA, aku bersekolah di Kecamatan yang sama. Bukan hanya itu, lulusan sekolah aku hampir 70 persen melanjutkan kerja. Dan mungkin 30 persen yang melanjutkan kuliah. Sempat terpikir olehku untuk melanjutkan kerja saja dahulu.
Aku berasal dari keluarga sederhana, dari mana orangtuaku membiayaiku untuk melanjutkan kuliah?, sungguh, itu pemikiran klasik. Pikiranku masih pendek sekali waktu itu. Tapi, niat dan pikiran itu terbantahkan oleh guru geografi. Di sela waktu belajar, saat itu masih kelas XI. dia pernah berkata “Kalian itu harus melanjutkan kuliah. Jangan tidak melanjutkan kuliah. Kalian jangan memikirkan masalah biaya terlebih dahulu, sekarang itu ada beasiswa yang namanya BidikMisi. Kalo kamu tidak mampu mempunyai biaya kuliah, kamu akan mendapatkan beasiswa asalkan kamu masuk Universitas tersebut. Tak hanya itu, kamu akan mendapatkan uang saku perbulannya”
Kata-kata pengantar nan sederhana itu, yang terus mengingatkanku agar aku harus tetap kuliah. Aku termasuk siswa yang aktif di sekolah kak jadi aku tak pernah berhenti untuk terus mencari informasi. Itu bekalku yang pertama yang menghantarkanku untuk meraih mimpiku.
Yang kedua, aku ini senag bermain Sosial Media juga. Banyak infomasi seputar kuliah yang aku dapat dari Sosial Media salah satunya dari @info_SNMPTN dan @infomasukPTN. Saat itu kakak kelas retweet tentang SNMPTN. Rasa penasaran muncul, dan akhirnya bekepo ria. Alhasil, aku tahu kalo SNMPTN ialah salah satu jalur seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri. Berbagai informasi telahku dapat. Dari kedua bekal tersebut, hati pun mulai bulat. Kalau aku harus melanjutkan kuliah!!
Tak terasa, waktu terus berjalan dan mengantarkanku memasuki pintu gerbang kelas XII. Orang bilang, pintu awal sebuah karier. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk memperbaiki nilai raport, di semester ini nilai raport harus maksimal, dan berharap agar bisa lolos SNMPTN (Jalur Undangan). Tersadar, bahwa nilai raport semester satu dan dua tidaklah bagus bahkan bisa dikatakan biasa aja. Walaupun ada sedikit rasa percaya diri karena di semester tiga dan empat menempati ranking 2 dan 1 di kelas, tapi hal itu tidak menjamin bisa lolosnya SNMPTN. Apalagi penilaian SNMPTN dilihat melalu berbagai aspek serta indeks sekolah.
Di awal semester 5 ini, aku mengikuti pelajaran dengan baik dan terus bersungguh-sungguh. Persiapan Ujian Nasional dan SBMPTN (Jalur Tes Tulis) ku tata agar se-seimbang mungkin. Saat itu, banyak teman-teman yang sudah mulai mnegikuti bimbingan belajar di luar sekolah untuk persiapan Ujian Nasional, karena di sekolah biasanya mengadakan bimbel persiapan Ujian Nasional di awal bulan November. Sempat minder karena banyak temen-temen yang mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah, aku ingin seperti mereka agar persiapanku lebih matang menghadapi Ujian Nasional. Mencoba meminta brosur ke salah satu tempat bimbingan belajar, dan memberanikan diri untuk berkata kepada ibu, “mah, mau ikut bimbingan belajar persiapan Ujian Nasional di luar sekolah”.
Tapi… Apalah daya, ibuku tidak mengizinkan untuk mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah. Memang, rincian biayanya cukup besar bagi kelurga kami. Dan akhirnya, keinginan itu hanya menjadi angan semata.
Tapi… Apalah daya, ibuku tidak mengizinkan untuk mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah. Memang, rincian biayanya cukup besar bagi kelurga kami. Dan akhirnya, keinginan itu hanya menjadi angan semata.
Berbagai rencana dan strategi ku tata sedemikian rapih untuk menghadapi Ujian Nasional dan SBMPTN. Aku membuat target, kalau bulan agustus ini, aku harus mempunyai buku latihan dan soal-soal SBMPTN. Aku selalu menyisihkan uang jajan sekolah untuk membeli buku itu. Tidak mau mererepotkan orangtua. Tapi, Uang yang ku kumpulkan tak pernah mencukupi untuk membeli buku itu, karena banyaknya tugas-tugas dari sekolah sehingga uang yang terkumpul dengan terpaksa aku gunakan. Aku tak pernah meminta uang kepada ibuku untuk mengerjakan tugas, kalaupun harus meminta itu jarang-jarang karena uang simpananku tak mencukupi.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Bulan oktober pun tiba.
Alhamdulillah. Aku mendapat infomarsi, kalau FISIP UI mengadakan acara Try Out SBMTPN seJabodetabek dan Bandung. Kucoba untuk mengajak teman-temanku, tapi sayang. Respon mereka tak selalu bagus, ada yang bilang “yaelah ki, masih lama. Fokus UN aja dulu! Lebay lu ah” jleb deh. Ada yang mengabaikan perkataanku karena mereka memang tidak minat untuk melanjutkan kuliah. Tapi, aku respon dengan baik. Aku bilang kalau persiapan kita lebih lama pasti kan lebih matang.
Alhamdulillah. Aku mendapat infomarsi, kalau FISIP UI mengadakan acara Try Out SBMTPN seJabodetabek dan Bandung. Kucoba untuk mengajak teman-temanku, tapi sayang. Respon mereka tak selalu bagus, ada yang bilang “yaelah ki, masih lama. Fokus UN aja dulu! Lebay lu ah” jleb deh. Ada yang mengabaikan perkataanku karena mereka memang tidak minat untuk melanjutkan kuliah. Tapi, aku respon dengan baik. Aku bilang kalau persiapan kita lebih lama pasti kan lebih matang.
Persiapan menjelang Try Out terus dilakukan, terus berlatih dengan buku yang baru ku beli itu. Aku latihan setiap pulang sekolah, dan sebelum tidur. Dan tetap menyisihkan uang untuk bisa mengikuti Try Out tersebut tanpa menambah beban orangtua. Enggan rasanya untuk menadahkan tangan, ketika aku sedang berjuang untuk membahagiakan mereka.
Waktu Try Out pun tiba, antara senang dan deg-degan bisa mengikuti Try Out tersebut. Banyak pengalaman yang didapat, semakin tahu bagaimana ketatnya persaingan SBMPTN nanti. Dan hasilnya? aku selalu bersyukur atas segala apa yang ku dapat. Berada di urutan ke 333 dari 1500 lebih peserta seJabodetabek dan Bandung. Temanku yang mengikuti Try Out juga ternyata hebat-hebat! Si K diperingkat ke 249. Si D peringkat ke 429, tetapi si A ada diperingkat 1300. Tapi hasil itu bukanlah suatu acuan, itu hanya seJabodetabek dan Bandung, bukan seNasional!
Dan… Bulan desember tiba.
Alhamdulillah, aku mendapat buku gratis latihan soal-soal SBMPTN dari kak Riris. Dia seorang mahasiswa di salah satu PTN di Jawa Barat, dia seorang motivator terutama untuk kelas XII. Selalu memberikan nasihat, bimbingan, dan pengalaman dia seputar SBMPTN. Banyak sekali ilmu yang didapat darinya. Sebelumnya, dia mengadakan kuis yang berhadiah buku latihan soal-soal SBMPTN. Dan aku berhasil memenangkan kuis tersebut dengan seorang perempuan asal Jember. Aku semakin percaya diri untuk menembus pintu gerbang PTN itu.
Alhamdulillah, aku mendapat buku gratis latihan soal-soal SBMPTN dari kak Riris. Dia seorang mahasiswa di salah satu PTN di Jawa Barat, dia seorang motivator terutama untuk kelas XII. Selalu memberikan nasihat, bimbingan, dan pengalaman dia seputar SBMPTN. Banyak sekali ilmu yang didapat darinya. Sebelumnya, dia mengadakan kuis yang berhadiah buku latihan soal-soal SBMPTN. Dan aku berhasil memenangkan kuis tersebut dengan seorang perempuan asal Jember. Aku semakin percaya diri untuk menembus pintu gerbang PTN itu.
Di bulan ini juga, Alhamdulillah. Aku berhasil melukiskan senyuman terindah pada ibuku. Saat itu, hari ibu bertepatan dengan pembagian raport semester ganjil. Semua orangtua diundang ke sekolah, sebelum pembagian raport ada pengarahan dari Kepala Sekolah, semua orangtua dikumpulkan dalam satu tempat, dan dipenghujung acara tersebut, diumumkan siswa-siswi terbaik kelas dan jurusan.
Alhamdulillaah, Puji syukur. Aku mendapat predikat siswa tebaik di kelas, dan terbaik di XII IPS. Sungguh, tak menyangka akan hal ini. Senang rasanya, dipanggil untuk naik ke atas panggung dan mengambil piagam penghargaan bersama ibu tersayang.
Alhamdulillaah, Puji syukur. Aku mendapat predikat siswa tebaik di kelas, dan terbaik di XII IPS. Sungguh, tak menyangka akan hal ini. Senang rasanya, dipanggil untuk naik ke atas panggung dan mengambil piagam penghargaan bersama ibu tersayang.
Di hari ibu, aku bisa memberikan hadiah yang terbaik untuk ibuku. Dan saat itulah aku merasakan bahwa “Kerja Keras itu Tak Akan Mengkhianati”
Sesampainya sampai di rumah ibu berbicara padaku “pertahankan terus prestasimu nak! Ibu bangga kepadamu. Semangat terus untuk menggapai cita-cita mu. Kamu tak usah memikirkan biaya, ibu dan bapak akan berusaha terus mencari uang”
Aku diam tertegun, dan sedih.
Aku harus bisa menggapai mimpi-mimpiku. Aku harus bisa terus membuat orangtuaku bangga. Aku harus membuat mereka bahagia, sekarang dan sampai mereka tua nanti.
Aku diam tertegun, dan sedih.
Aku harus bisa menggapai mimpi-mimpiku. Aku harus bisa terus membuat orangtuaku bangga. Aku harus membuat mereka bahagia, sekarang dan sampai mereka tua nanti.
Tahun 2013 pun datang. Jeng jeng! *drum roll*
Persiapan dan persiapan terus dilakukan. Latihan soal, mengikuti Try Out di luar, doa dan ibadah terus dilakukan.
Di awal tahun ini, aku terus memotivasi diriku sendiri. Ku tulis semua mimpi-mimpiku di secarik kertas kecil lalu ku tempelkan di papan mimpi di kamar, agar di setiap bangun tidur, aku terus bersemangat untuk meraih mimpi-mimpi tersebut.
Berbagai quote yang ku dapat, aku salin lalu temple di papan mimpi.
Persiapan dan persiapan terus dilakukan. Latihan soal, mengikuti Try Out di luar, doa dan ibadah terus dilakukan.
Di awal tahun ini, aku terus memotivasi diriku sendiri. Ku tulis semua mimpi-mimpiku di secarik kertas kecil lalu ku tempelkan di papan mimpi di kamar, agar di setiap bangun tidur, aku terus bersemangat untuk meraih mimpi-mimpi tersebut.
Berbagai quote yang ku dapat, aku salin lalu temple di papan mimpi.
Di awal tahun, antara bulan januari – februari. Aku masih seimbangkan amunisi untuk Ujian Nasional dan SBMPTN. Namun, memasuki bulan maret – april aku hanya fokus kepada persiapan Ujian Nasional. Kenapa? Karena saat itu aku mendapatkan informasi dari Kemdikbud kalau nilai Ujian Nasional menjadi tiket untuk masuk PTN (Jalur SNMPTN). Bagaimana ini? Akhirnya ku putuskan untuk fokus Ujian Nasional.
Ujian Nasional tiba.
Inilah perjuangan awalku untuk menggapai mimpi-mimpiku. Aku siap menghadapi Ujian Nasional, meskipun rasa deg-degan terus menyelimuti.
Banya godaan di Ujian Nasional sendiri, kunci misalnya. Tapi aku tak pernah tergiur. 20 paket soal. Ngapain? Mending fokus. Kalo Ujian Nasional ciut, bagaimana SBMPTN? Aku tetap berpegang teguh pada pendirian. Sia-sisalah perjuanganku salma ini kalau harus dinodai dengan sebuah kunci.
“UN itu bagaikan Cacing, dan SBMPTN itu bagaikan Ular”
Inilah perjuangan awalku untuk menggapai mimpi-mimpiku. Aku siap menghadapi Ujian Nasional, meskipun rasa deg-degan terus menyelimuti.
Banya godaan di Ujian Nasional sendiri, kunci misalnya. Tapi aku tak pernah tergiur. 20 paket soal. Ngapain? Mending fokus. Kalo Ujian Nasional ciut, bagaimana SBMPTN? Aku tetap berpegang teguh pada pendirian. Sia-sisalah perjuanganku salma ini kalau harus dinodai dengan sebuah kunci.
“UN itu bagaikan Cacing, dan SBMPTN itu bagaikan Ular”
Ujian Nasional berlalu, langsung move on. Aku langsung sigap berpaling kepada SBMPTN, karena sudah lama dia ku tinggalkan. Nah, disini. Setelah Ujian Nasional, kegalauan itu muncul lagi. Lagi, brosur-brosur bimbingan belajar persiapan SBM itu bertebaran dimana-mana. Banyak juga teman-temanku yang ikut bimbingan belajar. Aku iri, Aku juga ingin mengikuti bimbingan belajar seperti mereka. Aku coba memberanikan diri kembali untuk berbicara kepada ibu ku. Dan, seperti biasanya, orang tuaku tidak mengizinkan dengan alasannya seperti biasa.
“sekarang kamu coba belajar sendiri aja dulu nak. “lahaulawalla”. Ibu sama bapak ada uang juga untuk persiapan kamu ke Bandung. Belum ongkos, dan biaya hidupkamu disana.”
Sempat bingung.
Dalam perkataan itu, ada makna. Bahwa ibu percaya, kalau Aku pasti akan ke Bandung. Dan menuntut ilmu disana. Orangtua suka memikirkan apa yang tak pernah terpikirkan oleh ankanya.
“sekarang kamu coba belajar sendiri aja dulu nak. “lahaulawalla”. Ibu sama bapak ada uang juga untuk persiapan kamu ke Bandung. Belum ongkos, dan biaya hidupkamu disana.”
Sempat bingung.
Dalam perkataan itu, ada makna. Bahwa ibu percaya, kalau Aku pasti akan ke Bandung. Dan menuntut ilmu disana. Orangtua suka memikirkan apa yang tak pernah terpikirkan oleh ankanya.
Akhirnya, ku coba belajar sendiri. Dengan buku-buku soal yang ku punya. Sempat bosan, karena belajar sendiri itu tidaklah selalu menyenangkan. Apalagi disaat ada materi yang tak dimengerti.
Perasaan ingin mengikuti bimbel persiapan SBM itu pun muncul lagi. Aku berputar pikiran, bagaimana caranya aku harus bisa mengikuti bimbingan belajar tanpa membebani orangtua. Terbesit dalam hati, ingin menjual Hand Phone kesayangan untuk dijual dan uangnya untuk tambahan biaya bimbingan belajar. Tapi aku tak berani mengambil langkah itu begitu saja. Aku meminta izin terlebih dahulu pada ibu. Karena bagaimanapun handpone itu pemberian dia.
Sayang, ibu tak mengizinkan. Dia malah memarahiku.
Mungkin ibu kesal kepadaku, karena aku terlalu “memaksa”. Niat itu aku urungkan.
Sayang, ibu tak mengizinkan. Dia malah memarahiku.
Mungkin ibu kesal kepadaku, karena aku terlalu “memaksa”. Niat itu aku urungkan.
Aku terus belajar sendiri. Kenapa tidak meminta bantuan sama temanmu yang ngerti? Sudah ku coba, sebelumnya selalu meminta diajari dia. Bahkan sebelum masa-masa persiapan Ujian Nasional. Entah mungkin karena dia bosan. Setiap aku menghubungi dia, tak pernah dia merespon.
Perjuangan ini tak boleh berhenti sampai disini. Aku terus belajar sendiri. Aku harus bisa memahami materi-materi ini tanpa penjelasan dari orang lain. Tapi hanya dari buku ini sendiri. Alhamdulillah, materi demi materi pun mulai aku pahami. Allah selalu memberi kemudahan bagi hambanya yang mau berusaha.
Tapi, tak selalu materi ku pahami dengan baik. Matematika Dasar. Aku mengalami kesulitan di materi itu. Aku terus mancari cara. Aku coba untuk menghubungi guru matematika di sekolah, dan memintanya untuk mengajari ku. Awalnya, dia mengenakan tarif dan cukup besar harganya. Sambil becanda di sms, aku meminta diskon. Dan membujuknya sambil mambicarakan hal-hal ringan. Akhirnya dia mau mengajariku secara suka rela.
Setiap tiga hari dalam seminggu aku mengunjungi rumahnya, dengan waktu yang tidak ditentukan. Kadang dua hari seminggu, atau satu hari seminggu. Ya, aku bimbel mengikuti rutinitas dia. Kalau dia sempat dia mengajariku, kalau dia sibuk bagaimana lagi, aku harus kembali belajar sendiri.
Tak terasa pengumuman Ujian Nasional tiba, deg-degan dengan hasil yang akan kulihat.
Tapi apapun itu, itulah perjuangan dan kemampuanku. Nilai Ujian Nasional ku kecil.
Bingung, ini bagaimana? Tapi ya sudahlah. Semuanya sudah berlalu. Yang terpenting fokus pada cita-cita.
Tapi apapun itu, itulah perjuangan dan kemampuanku. Nilai Ujian Nasional ku kecil.
Bingung, ini bagaimana? Tapi ya sudahlah. Semuanya sudah berlalu. Yang terpenting fokus pada cita-cita.
Jelang beberapa setelah pengumuman Ujian Nasional. Pengumuman SNMPTN tiba. Rasa deg-degan itu muncul lagi. Aku berharap aku bisa lolos seleksi ini. Antara percaya diri dan tidak.
Aku terus berdoa dan beribadah, aku mempunyai nazar. Aku harus khatam qur’an sebelum pengumuman.
Aku terus berdoa dan beribadah, aku mempunyai nazar. Aku harus khatam qur’an sebelum pengumuman.
Di tiap seminggu menuju pengumuman, beberapa hari lagi menuju pengumuman aku selalu bicara pada ibuku. Aku selalu minta doa dia.
Hari H pengumuman. Pengumuman itu dimajukan. Hari senin.
Saat itu aku diam di rumah dan terus berdoa, taaapiii. Temanku tiba-tiba datang ke rumah. Ngapain? Ya. Mereka mengajak main. Kemarinnya mereka memang sudah telpon aku. Tapi aku menolak ajakan itu. Entah kenapa tiba-tiba meraka datang ke rumah. Mereka bersikukuh mengajakku main. Aku tolak terus, bahkan kami sempat berdebat di rumahku.
Hari H pengumuman. Pengumuman itu dimajukan. Hari senin.
Saat itu aku diam di rumah dan terus berdoa, taaapiii. Temanku tiba-tiba datang ke rumah. Ngapain? Ya. Mereka mengajak main. Kemarinnya mereka memang sudah telpon aku. Tapi aku menolak ajakan itu. Entah kenapa tiba-tiba meraka datang ke rumah. Mereka bersikukuh mengajakku main. Aku tolak terus, bahkan kami sempat berdebat di rumahku.
Memang kami sudah lama tak bertemu, mereka mengajakku main bukan ke mall atau semacamnya. Mereka ngajakku ke tempat air terjun Mereka sudah berkuliah dan kerja, ada yang mau UTS esok harinya, dia bilang mau refreshing dulu katanya. Tapi tidak pas dengan kondisiku.
Bingung, mereka sudah ke rumah. Kalau aku tolak mereka, pasti perasaan mereka sangatlah tak nyaman.
Disaat pengumuman seperti ini, tidak mau membuat orang lain kesal kepadaku. Tapi aku tak mau bersenang-senang sebelum ada kepastian. Dengan berat hati, aku ikut dengan mereka.
Bingung, mereka sudah ke rumah. Kalau aku tolak mereka, pasti perasaan mereka sangatlah tak nyaman.
Disaat pengumuman seperti ini, tidak mau membuat orang lain kesal kepadaku. Tapi aku tak mau bersenang-senang sebelum ada kepastian. Dengan berat hati, aku ikut dengan mereka.
Di sepanjang jalan dan di tempat tujuan, aku merasa tak tenang, terus merengek dan meminta pulang lebih cepat.
Akhirnya, kami pulang. Dan, hujan pun datang!. Kami basah kuyup. Sampai maghrib aku masih di perjalanan.
Sampai di rumah. Aku masuk angin, dan saat itu sedang shaum. Disaat kondisi badan seperti ini, belum melihat hasil pengumuman. Aku terus bicara pada ibuku, kalau aku deg-degan, lalu ibu menyuruhku untuk mandi, sholat, lalu makan dulu sebelum melihat hasil pengumuman. Nazarku sudah terpenuhi. Alhamdulillah aku sudah khatam sebelum pengumuman.
Akhirnya, kami pulang. Dan, hujan pun datang!. Kami basah kuyup. Sampai maghrib aku masih di perjalanan.
Sampai di rumah. Aku masuk angin, dan saat itu sedang shaum. Disaat kondisi badan seperti ini, belum melihat hasil pengumuman. Aku terus bicara pada ibuku, kalau aku deg-degan, lalu ibu menyuruhku untuk mandi, sholat, lalu makan dulu sebelum melihat hasil pengumuman. Nazarku sudah terpenuhi. Alhamdulillah aku sudah khatam sebelum pengumuman.
Setelah semuanya selesai. Aku duduk di ruang tengah, bersiap-siap untuk melihat pengumuman. Dan ingin segera membalas sms teman-teman yang menanyakan lolos atau tidak.
Mulai membuka hasil pengumuman..
Bismillah..
Bismillah..
Seketika tulisan kata “MAAF” dalam kotak merah itu muncul. Diam tepaku.
“oki gagal bu”. Masih diam menatap layar itu.
Tiba-tiba, ibuku merangkulku, dia menangis dan memelukku. “ya sudah, kamu harus sabar, ini yang tebaik untuk kamu. Ibu selalu melihat usaha-usaha mu, tapi kali ini bukan rezeki mu”
dengan nada yang tesedu-sedu itu, ibu berbicara padaku sambil memelukku.
Hanya bisa terdiam, seketika air mata ikut mengalir. Tak tahan melihat ibu sedih, tak tahan melihat ibu mengangis.
“Yaelah, ngapain dibawa sedih. Udah gak usah nangis. Perjalanan masih panjang”. Celetuk bibi.
“oki gagal bu”. Masih diam menatap layar itu.
Tiba-tiba, ibuku merangkulku, dia menangis dan memelukku. “ya sudah, kamu harus sabar, ini yang tebaik untuk kamu. Ibu selalu melihat usaha-usaha mu, tapi kali ini bukan rezeki mu”
dengan nada yang tesedu-sedu itu, ibu berbicara padaku sambil memelukku.
Hanya bisa terdiam, seketika air mata ikut mengalir. Tak tahan melihat ibu sedih, tak tahan melihat ibu mengangis.
“Yaelah, ngapain dibawa sedih. Udah gak usah nangis. Perjalanan masih panjang”. Celetuk bibi.
Tak mau berlarut-larut terus dalam kesedihan. Harus terus berjuang untuk meraih cita-citaku, kembali fokus untuk mempersiapkan diri menghadapi SBMPTN. Karena gagal dalam SNMPTN bukanlah akhir dari segalanya!. Allah ingin melihat kerja kerasku yang lebih. Aku terus membuat perubahan. Waktu belajar ku tambah lagi dan lebih ekstra, serta doa dan ibadah harus dan perbanyakku lakukan.
Dan…
Pengumuman SBMPTN pun tiba. Jeng-jeng! *drum roll*
Di pengumuman ini, aku tidak lagi melakukan apa yang pernah ku lakukan disaat menjelang pengumuman SNMPTN. Karena ku yakin, kalau ingin mendapatkan hasil yang beda. Kita harus melakukan hal yang berbeda.
Aku tak selalu bicara pada ibuku lagi “bu, 1 minggu lagi pengumuman. Deg-gedan ni” “bu, 1 hari lagi pengumuman. Deg-gedan”. Tidak! Ku coba pendam rasa ini dalam hati, dan menenangkannya sendiri. Kalau terus bicara pada ibuku, pasti beban pikiran ibu bertambah. Aku ini kan niatnya ingin membuat dia bahagia.
Lalu, mirip hampir mirip, lagi temanku mengajakku ke mall. Meminta antar untuk membeli jam katanya, tapi untuk yang ini ku tolak dengan biak-baik.
Pengumuman SBMPTN pun tiba. Jeng-jeng! *drum roll*
Di pengumuman ini, aku tidak lagi melakukan apa yang pernah ku lakukan disaat menjelang pengumuman SNMPTN. Karena ku yakin, kalau ingin mendapatkan hasil yang beda. Kita harus melakukan hal yang berbeda.
Aku tak selalu bicara pada ibuku lagi “bu, 1 minggu lagi pengumuman. Deg-gedan ni” “bu, 1 hari lagi pengumuman. Deg-gedan”. Tidak! Ku coba pendam rasa ini dalam hati, dan menenangkannya sendiri. Kalau terus bicara pada ibuku, pasti beban pikiran ibu bertambah. Aku ini kan niatnya ingin membuat dia bahagia.
Lalu, mirip hampir mirip, lagi temanku mengajakku ke mall. Meminta antar untuk membeli jam katanya, tapi untuk yang ini ku tolak dengan biak-baik.
Dan, beberapa jam menuju pengumuman. Ibu minta anter ke pasar, sore waktu itu.
Aku mengantarkan ibuku terlebih dahulu, twitter sudah ramai kalau pengumuman sudah bisa di akses. Bunyi sms juga mulai datang satu-persatu menanyakan hasil penngumuman.
Sempat ingin buka pengumuman di pasar, tapi. Ah! Kondisinya tak enak. Masa buka pengumaman di pasar
Aku mengantarkan ibuku terlebih dahulu, twitter sudah ramai kalau pengumuman sudah bisa di akses. Bunyi sms juga mulai datang satu-persatu menanyakan hasil penngumuman.
Sempat ingin buka pengumuman di pasar, tapi. Ah! Kondisinya tak enak. Masa buka pengumaman di pasar
Sesampainya di rumah, langsung bersiap-siap.
Sudah berada di depan layar sendiri, ibu di kamar mandi sedang mencuci, bibi belum pulang kerja, sama bapak juga.
Dengan rasa deg-degan, dan bismillah, ku buka web itu.
Dan…
Sudah berada di depan layar sendiri, ibu di kamar mandi sedang mencuci, bibi belum pulang kerja, sama bapak juga.
Dengan rasa deg-degan, dan bismillah, ku buka web itu.
Dan…
Segala Puji Bagi Alla.Tulisan “SELAMAT” itu muncul di kotak berwarna biru, bukan kotak berwarna merah lagi.
Seketika itu aku langsung diam, tak percaya, aku langsung berteriak pada ibuku yang di kamar mandi “bu, aku lolos bu. Aku lolos” dan air mata itu, mengalir dengan sendirinya keluar.
Aku langsung menghampiri ibu ke kamar mandi. Ibu kaget mungkin, melihatku menangis sambil berkata yang kurang jelas. Tapi akhirnya ibu mengerti kalau aku lolos SBMPTN. Pendidikan Sosiologi – Universitas Penididikan Indonesia.
Aku langsung merangkul ibuku, dengan penuh air kebahagiaan.
“iya Alhamdulillah, ibu seneng mendengarnya”.
“iya bu, Alhamdulillah usahaku selama ini tidak sia-sia bu”
“iya, kamu bangun setiap pagi, puasa, pasti kamu mempunyai maksud, Allah mendengarkan doamu nak”
Peristiwa itu, takkan pernah terlupakan.
Yang tadinya ibu merangkulku disaat ku gagal. Kini aku merangkul ibuku disaat aku berhasil.
Aku langsung menghampiri ibu ke kamar mandi. Ibu kaget mungkin, melihatku menangis sambil berkata yang kurang jelas. Tapi akhirnya ibu mengerti kalau aku lolos SBMPTN. Pendidikan Sosiologi – Universitas Penididikan Indonesia.
Aku langsung merangkul ibuku, dengan penuh air kebahagiaan.
“iya Alhamdulillah, ibu seneng mendengarnya”.
“iya bu, Alhamdulillah usahaku selama ini tidak sia-sia bu”
“iya, kamu bangun setiap pagi, puasa, pasti kamu mempunyai maksud, Allah mendengarkan doamu nak”
Peristiwa itu, takkan pernah terlupakan.
Yang tadinya ibu merangkulku disaat ku gagal. Kini aku merangkul ibuku disaat aku berhasil.
CERPEN 3:
Tali Sepatu
by : Arya Essa
Boja, Musim Kemarau 2005
Pemuda itu melepas tali sepatunya. Tak lama setelah ia berhasil, ia memasang kembali tali sepatu itu, kemudian ia lepaskan lagi, dan ia pasang lagi. Aku hanya tertawa kecil melihat dia. Kurang kerjaan, batinku. Seolah bisa membaca makna tawaku dia berkata; “Ini untuk mengisi kekosongan, Yash.. daripada bengong? Kesambet aja, heheheee”
“Siapa yang nanya?” sewotku
Pemuda itu hanya terkekeh sesaat. Cuek saja. Dia masih melanjutkan aktivitas tidak pentingnya. Melepas tali sepatu dan memasangnya kembali. Berkali-kali.
Remaja tampan itu temanku, namanya Dien. Harus kusertakan huruf e, supaya aku tidak mendapat protes darinya. Dia bilang aku menyalahi akte kelahirannya jika meniadakan huruf e diantara i dan n. Sebegitu detil ya, memang Dien itu suka rempong. Hal-hal sekecil itu seringkali menuai protes. Jangankan kalian, aku pun heran.
Kami berdua sedang menunggu giliran apresiasi, sebuah lomba puisi. Entah bagaimana pertimbangan dewan guru, mereka mengutus aku dan Dien untuk mewakili sekolah. Dien memang punya bakat membaca puisi, ekspresinya dapet banget. Tapi aku? Olalaa.. aku sendiri masih belum selesai terbingung-bingung. Kenapa aku ya?
Menjadi urutan terakhir dari 50 peserta memang sesuatu banget. Kami berdua sudah latihan sampai hafal. Sudah cerita, ngobrol, bercanda kesana-kemari sampai –kalau dalam film kartun –sudah berbusa-busa. Sudah jalan-jalan keliling gedung dan sekitarnya sampai jumlah thawaf haji. Sudah macam-macam.. tapi masih ada 35 peserta lainnya yang sama-sama tunggu giliran. Jadilah Dien membuat kesibukan baru –yang bagiku, sumpah! gak penting banget.
Tapi rupa-rupanya, aku sempat meniru perbuatannya itu. Melepas dan memasang tali sepatu berkali-kali, di kemudian hari. Saat aku menunggu antrian panjang, atau bosan, suntuk, kesepian dan merasa tidak ada kerjaan –walau sebenarnya banyak. Ah, satu lagi, saat aku merindukan Dien. Kenapa aku merindukan Dien? Hmm.. cinta pertama kurasa. Tapi pemuda itu melanjutkan studinya ke luar kota, kemudian ke luar negeri. Lama aku tak bertemu dengannya. Perasaanku pun, aku simpan dalam-dalam di hati. Terpendam bersama debu-debu musim kemarau.
Solo, Musim Hujan 2008
Tanah selalu basah, jalanan sering becek dan cucian enggak kering-kering. Begitulah ciri khas musim hujan. Dimana-mana, kapan saja, selalu sama. Banyak temanku yang merutuki hujan. Marah dan kadang sampai mengumpat bila hujan tiba-tiba turun deras di tengah aktivitas kami. Tapi apakah hujan bersalah? Tentu tidak. Hujan itu rahmat, selalu berkah dan nikmat. Diantara belasan mahasiswi yang berlarian menerobos hujan, aku berjalan santai saja. Menikmati. Toh hujan tidak turun sepanjang waktu, tidak juga sepanjang tahun, dan tidak tiap hari aku berkesempatan beramah tamah dengan hujan. Tak apalah sekali-kali.
“Yash! Nanti sakit lho.. ayo sini, ngiyup!” ajak seorang teman. Ngiyup? Berteduh? Ah, ngga’ minat. Baru gerimis saja, buat apa berteduh segala? Bikin tambah lama, batinku menolak. Aku mengangkat tanganku sambil lalu sebagai tanda penolakan.
Di pinggir jalan, tiba-tiba hujan terasa berhenti. Bukan karena langit tak lagi siramkan hujan, tapi karena seseorang berbagi payung denganku.
“Gak baek Yash, hujan-hujanan..” Tino. Seorang senior. Ramah ia tersenyum padaku. “Kamu enggak lagi patah hati kan?” tambahnya menggoda. Aku tersenyum kecil. Kalau Tino yang menghentikan aksi silaturrahmi hujanku, mana bisa aku menolak. Aku mengagumi Tino. Dia kakak senior yang baik. Pun ia aktif dalam kegiatan kemahasiswaan.
Aku melangkah mengikuti irama kaki Tino. Ia dan payungnya yang memayungiku juga, seolah mengendalikan kemana aku harus berjalan. Tino menuju sebuah warung bakso. Seharusnya aku keberatan jika dia hendak mengajak mampir. Seharusnya. Tapi apa daya aku? Kukira ada semacam sihir yang menguasai aku. Membuatku tak menolak, membuatku mengekori Tino.
“Aku laper Yash, hujan-hujan gini enak maem yang anget-anget, gak papa kan?” tanyanya. Seharusnya aku bilang; aku enggak suka mampir-mampir. Buang-buang uang aja jajan dulu kaya gini. Aku mau langsung pulang aja. Tapi yang keluar dari mulutku. “Oke. Aku suka bakso kok,” Nah lhooo.. what’s wrong with me?
Kami duduk berhadapan. Sebuah warung bakso kecil dengan dinding yang bercat biru laut. Dipadu padankan dengan meja-kursi yang berwarna kuning cerah sebagian dan hijau muda sebagian yang lain. Lukisan abstrak orange-merah menambah semarak. Warna-warni sekali. Lupa sudah aku, di luar sana hujan mulai lebat. Langit gelap abu-abu.
“Yash, tali sepatumu copot.” Tino menunjuk tali sepatuku yang sudah kotor terseret sedari tadi. Tali sepatu? Aku segera menunduk membenarkannya. Melerai lepas tali sepatu kumuh itu dari lubangnya dan memasangnya lagi. Dien suka sekali begini. Tidak hanya pada kesempatan aku berlomba bersamanya dulu. Di hari-hari berikutnya, aku jadi sering memperhatikan kesibukan tidak penting itu dia lakukan. Unik sekali. Kadang dengan jahil aku rampas tali sepatunya dan kubuang ke sungai di depan gerbang sekolah. Wajah memberengutnya, tawaku yang begitu lepas, tali sepatu basah dan kotor. Ah, aku malah jadi bernostalgia dengan kisah lama, Dien dan tali sepatunya. Apa kabar ya dia?
Yogyakarta, Musim Kemarau 2011
Aku berkunjung ke kota pelajar pada bulan April. Beramai-ramai mengendarai motor sedari subuh. Kami seperti sedang konvoi saja. Meliuk-liuk kami menerjang angin dengan kecepatan tinggi. Jalan utama Solo-Yogya sangat sepi di pagi hari. Lalu lintas sepi, lenggang dan seolah masih tidur, belum bangun. Jarak normal yang semestinya 2 hingga 3 jam pun habis tuntas dalam 1 jam saja. Jiwa muda mungkin, senang berkebut-kebutan.
Pagi-pagi kami sudah sarapan di tepi lautan. Berjajar rapi dengan nasi kucing buatan sendiri di tangan masing-masing. Ombak Parangtritis tampak bersemangat menampar kaki-kaki kami yang tanpa alas. Bersambut dengan sorak-sorai dan tawa di tengah lahapnya makan. Hingga agak siang kami puaskan main air di pantai Nyi Roro Kidul. Refreshing.
“Yash, aku pengen cerita, boleh?” Tino kini duduk di sampingku. Tak sampai satu meter. Lina yang mustinya ada di antara kami sudah membaur dengan lima teman lainnya, bermain ombak dan air pantai.
“Monggo, Ndoroo..” kataku santai. Sudah empat tahun kami berteman baik. Meskipun tidak pernah ada percakapan serius antara aku dan Tino, tapi hatiku rasa-rasanya seperti mulai merajut perasaan lain untuknya. Berawal dari kagum lalu menjadi suka, kemudian merangkak menjadi … ah, apa sih. Aku tidak mau membahas perasaan. Bikin kikuk saja.
Tino tertawa sesaat. Tawa itu kemudian pudar perlahan. Kedua mata elangnya menatap teman-teman kami yang berlarian senang. Seperti anak kecil. Lirih Tino berkata; “Aku patah hati, Yash.” Ungkapan yang murung.
Patah hati? Kenapa dia tiba-tiba patah hati? Belum pula dia bercerita jatuh cinta, kok tiba-tiba curhat sedang patah hati?. Aneh lagi, kenapa hatiku ikut enggak karuan? Masa aku ikut patah hati?
Patah hati? Kenapa dia tiba-tiba patah hati? Belum pula dia bercerita jatuh cinta, kok tiba-tiba curhat sedang patah hati?. Aneh lagi, kenapa hatiku ikut enggak karuan? Masa aku ikut patah hati?
“Kapan jatuh cinta? Udah patah hati aja..” protesku seadanya.
Tino tertawa lagi, kali ini, getir.
Tino tertawa lagi, kali ini, getir.
Tanpa mengindahkan pertanyaanku, dia melanjutkan. “Gadis itu, Yash.. kamu tahu?” dia membuat jeda. Seperti sedang mengatur kata-kata diantara tumpukan kepedihan yang ingin dia sampaikan. Mana kutahu, hatiku menjawab ketus. Kenapa aku ketus? Mungkin aku kecewa, Tino berarti tidak jatuh cinta padaku. Sebab jika dia jatuh cinta padaku, dia kan enggak mungkin patah hati, aku pasti mengiyakanmu Tino.. Andai kamu tahu.
“Wajahnya lembut banget Yash, kaya bidadari..” lanjutnya masih dengan mimik yang tadi. Seperti sedang membayang. Hatiku menjawab lagi; Oh Tino.. emang kamu udah lihat bidadari? Aku yang selembut bidadari aja enggak pernah kamu puji tuh.
“Bicaranya halus, suaranya merdu.. “ lanjut Tino. Dia memuji-muji dewi pujaan hatinya itu seolah aku ini tidak ada apa-apanya. Menyakitkan sekali.
“Lalu?” tanyaku. Aku menunduk. Entah bagaimana aku mulai malas mendengarkan. Kumainkan jemariku di atas pasir pantai, aku mengukir-ukir garis tak jelas di bawah kakiku.
“Matanya itu, hmf. Selalu teduh pandangan…” Tino masih memuji, menerawang, membayang. Dia tidak tahu aku –dengan mendengarkan kisah patah hatinya –pun jadi patah hati. “Langkahnya anggun, Yash.. kaya seolah dia itu gadis paling sopan sedunia.” Ya, ya… dia yang paling sopan sedunia. Betapa bodohnya aku bisa berpikir kalo pemuda ini pernah jatuh hati padaku? Mana mungkin?. Bahkan semua puji-pujian itu dia tuturkan penuh kagum. Seolah belum pernah bertemu yang seperti itu sebelumnya. Seolah yang lain-lain hanya boneka pelengkap dunia ini. Oh, aku semakin tidak sanggup mendengar dia terus memuji.
“Lalu –…”
“Lalu kenapa kamu patah hati?” tangkasku.
Tino menarik napas, panjang. Kemudian dia menghembuskannya keras-keras. “Keluarga kami nggak setuju, Yash.. “ ujarnya lirih. “Rasanya aku pengen kembali ke masa lalu aja, biar hilang semua rasa begini, biar aku memilih tidak usah kenal dia aja..” Aku juga kepingin begitu. Aku kira selama ini kamu menyukaiku. Aku kira dia menyimpan perasaan untukku. Selain sikapnya yang tampak begitu mengistimewakan aku, teman-teman karibnya pun seringkali menyemangati aku. Mereka bilang, Tino menyukai Yash. Ternyata itu hanya asumsiku yang keliru. Bukankah aku yang lebih layak kembali ke masa lalu dan memilih enggak kenal kamu?
Atau minimal memilih enggak GR kaya gini.
“Bahkan kadang aku berpikiran ekstrim, Yash.. aku kepingin ketabrak mobil, hilang ingatan dan lupa pernah patah hati kaya gini,”
“Bahkan kadang aku berpikiran ekstrim, Yash.. aku kepingin ketabrak mobil, hilang ingatan dan lupa pernah patah hati kaya gini,”
“Tenggelem aja Tin, lebih gampang… tuh, ombaknya lagi tinggi!” aku menunjuk laut. Memang benar, ombak Parangtritis seperti sedang mengamuk. Menggulung besar-besar. Membuat teman-temanku makin riang menantangnya.
“Kebanyakan nelen aer waktu tenggelam bisa bikin orang amnesia juga kok, katanya..” tambahku asal. Aku kesal setengah mati. Kesal pada kenyataan, diriku sendiri dan Tino.
Tino tertawa kaku. Tampak kesal juga dengan jawabanku. Impas, pikirku egois.
Semarang, Musim Hujan 2014
Wajah yang kukenal. Mata yang kukenal. Senyum yang kukenal. Menyumbul diantara hadirin ruang kebesaran. Mendekat dan menyapa. Aku sampai terbengong-bengong. Is it right?
“Hai, 8 tahun lebih enggak ketemu kok kamu nggak tambah cantik sih? Hehehe” itu Dien yang bicara. Teman SMP-ku! Si tali sepatu enggak penting! Dia sudah menjadi seorang pemuda gagah, rupawan dan terpelajar sekarang. Baru pulang ke tanah air setelah menyelesaikan studi strata satu-nya di Jepang, beasiswa.
Siapa sangka, aku dan Dien bertemu kembali setelah sekian lama. Sebuah acara wisuda di IAIN Walisongo. Di antara ratusan tamu undangan, tidak diundang, dan wisudawan-wisudawati, ada Dien yang bertahun-tahun ditenggelamkan masa, dan ada aku yang bertahun-tahun juga hanya mampu mengingat masa, membayang tali sepatu Dien.
Bukankah sepasang muda-mudi yang memendam cinta, berpisah, lantas bertemu lagi oleh skenario takdir berarti berjodoh? Ah, ya. Tentu saja begitu. Lihatlah sekarang aku dan Dien yang sudah bertahun-tahun terpisah, hilang kabar, sekarang bertemu lagi dalam sebuah acara dengan skenario Tuhan, takdir yang mempertemukan kami. Ini sudah jelas pertanda bahwa aku dan Dien adalah jodoh.
“Apa kabar, Dien? Kapan pulang di tanah air?” tanyaku ramah. Ah, aku malu mengakui bahwa senyumku bungah sekali.
“Kabar baik, kamu? Aku baru pulang minggu lalu, for this special event” katanya diiringi seulas senyum manis.
“Spesial? Emang siapa yang wisuda? Adik kamu?”
Dien sudah membuka mulut, siap menjawab, namun seorang gadis cantik memanggilnya, mengurungkan niatnya menjawabku. Gadis itu berjalan anggun dengan baju kostum wisuda lengkap.
“Kirain mas gak jadi datang,” sapanya pada Dien. “Jadi dong…” jawab Dien bangga. Kemudian percakapan ringan meluncur diantara keduanya. Asyik sekali. Aku hanya memperhatikan, seperti sedang jadi obat nyamuk, atau patung penjaga.
“Oh, ini adek kamu..” aku asal tebak. Menyela percakapan mereka yang masih asyik. Ngga’ lucu banget kan aku jadi penonton mereka? Jadi mending ikut nimbrung obrolannya saja.
“Bukan kak, saya tunangannya.” Jawab sang gadis cantik masih bersama tawa bahagianya. Oh no! Tunangan? Apa aku salah dengar? Dunia mendadak bergetar, aku kira merapi meletus. Nyatanya hatiku yang meletus. Patah sudah pengharapan. Apa dia bilang? Tunangan? Berarti tak tersisa sepucuk pun harapan bagiku.
“Kenalkan, Yash ini Neina tunanganku, Neina ini Yash teman SMP mas dulu.” Dien mengenalkan kami. Aku tersenyum semanis yang kumampu, aih, aku harus tampak baik-baik saja, tidak boleh kelihatan kecewa Dien sudah bertunangan.
“Selamat ya, Neina .. semoga jadi sarjana yang bermanfaat.” Kataku tulus.
“Makasih, kak…” jawab Neina lembut. Tak lama kemudian aku pamit pada Dien dan tunangannya. Aku bergabung dengan Johan –adikku yang wisuda –dan keluargaku. Sebenarnya aku masih shock. Dien sudah bertunangan, membuatku meralat hipotesaku: Jodoh itu, jika sepasang muda-mudi yang memendam cinta, berpisah, dan bertemu lagi, dengan catatan kedua-duanya tetap lajang pada pertemuan yang diskenariokan Tuhan. Ingat! Masih sama-sama lajang.
Solo, Musim Kemarau 2014
“Halo lajang lapuk, hehee..” Aku cemberut. Tino justru cengengesan di sampingku. Dengan santai dia meraih sebuah kursi, menjejeriku, lantas mendudukinya.
“Halo juga bujang busuk,” timpalku ketus.
“Haduuuuhh… kalian berdua ini, sama-sama single, mbok ya jangan saling menghina, kan mendingan disatukan aja, ya to?” Enan angkat bicara.
“Enggak minat.” Tolakku tegas.
“Uiih… sadis Tin! Sabar ya broo…” Tino hanya terkekeh. Dia tidak menggubrisku. Dia tetep di tempatnya, cengar-cengir padaku.
“Kenapa Yash? Patah hati lagi? Ehehhee..” Oh Gosh! Dia bilang ‘lagi’? apakah maksud dia aku sudah sering patah hati? Makin malas saja aku menanggapi. Tapi semakin aku marah, paling-paling Tino malah akan semakin semangat menggodaku.
Aku tersenyum dibuat-buat, menghadap padanya, “Enggak pernah patah hati, tuh.” Bantahku halus, bohongku. Dan well, memang sebenarnya aku sedang patah hati sama si mister ‘tali sepatu’. Tega nian dia muncul lagi kalau buntutnya cuma mau pamer status bertunangan? Bikin sakit hati saja.
“Aku denger pangeran harapanmu sudah mau nikah ya? Hmf. Aku turut prihatin, Yash.” Ujarnya, entah tulus entah enggak.
Lagi-lagi aku tersenyum kaku, “Pangeranku belum mau nikah kok, dia sekarang sedang nyariin aku, sebentar lagi juga ketemu.”
Tino tertawa. Enan ikut-ikutan. “Emang siapa pangeran kamu?” katanya meremehkan.
“Dosen, kamu juga kenal.” Jawabku sembarangan. Aku berharap saat begini semua malaikat yang berada di sekitar kami dan mendengar, serentak mengucap “aamiiiinn”.
Enan bangkit dari duduknya “serius??”
Aku pun bangkit dari tempat dudukku, beranjak meninggalkan mereka dengan berkata, “Penasaran? Hehhe.. tunggu tanggal maennya!”
Aku sungguh berdoa, semoga ada pangeran sungguhan datang padaku, tidak harus benar-benar dosen seperti yang aku katakan barusan. Siapa saja yang sholeh. Untuk mengobati luka hatiku. Ah, sampe sepatuku sekarang enggak pernah lagi yang ada talinya. Trauma tali sepatu. Padahal tali sepati enggak pernah salah. Pun sebenarnya Dien juga tidak salah, dia bahkan tak pernah menjanjikan apapun padaku, tidak pula memberi harapan. Satu-satunya yang salah adalah hatiku yang mengharap. Harapan dan keinginan memang seringkali menyakiti.
2. Ilmu Budaya Sosial dihubungkan dengan Puisi
MAAFKAN AKU
Oleh Nadiyah Nurul Tania
Telah lama kita lewati hari hari bersama
Dengan kenyataan jarak masih memisahkan fisik untuk bertemu..
Tapi..
Hati kita tetap kuat untuk bertahan menjalani hubungan seperti itu..
Hari demi hari
Minggu demi minggu
Bulan demi bulan
Bahkan tahun demi tahun
Hubungan kita masih bertahan..
Sampai suatu hari,pada saat itu kamu mulai berubah..
Tak seperti biasanya,kamu mulai menjauh dariku
Kamu tak jujur padaku tentang apa yang terjadi..
Sampai, tiba saatnya aku mendengar dari teman mu kamu telah bersama yang lain..
Hati ini hancur,hancur berkeping keping..
Kamu melukai hati ini,menusuknya sangat dalam..
Tapi,maafkan aku,aku masih sangat mencintaimu..
Maafkan,aku yang benar benar bodoh masih mengharapkanmu..
Tapi,apalah dayaku,hati ini benar benar sangat mencintaimu...
Ku berharap bisa bertemu langsung denganmu..
Walaupun,mungkin untuk pertama dan untuk terakhir kalinya..
Jangan memaksaku untuk melupakanmu.. Karena ada saatnya dimana aku harus tetap bertahan meski tersakiti dan ada saatnya aku benar benar pergi..
Melupakanmu adalah Hal tersulit dalam hidupku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar